Mentawai, misalnya, diperkirakan bisa mengalami gempa 8,9 skala Richter. Gempa tersebut kini seolah sedang ditunggu kehadirannya. Sebelumnya, gempa besar dengan tsunami pernah terjadi tahun 1833.
Bagaimana dengan wilayah selatan Jawa? Apakah aktivitas di zona subduksi bisa mengakibatkan gempa besar yang kemudian diikuti dengan tsunami?
Peneliti anggota Tsunami Research Group Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, potensi gempa besar di selatan Jawa lebih rendah.
"Subduksi Jawa tidak seperti di Sumatera. Di Jawa, subduksinya lebih tua," kata Widjo. Jika umur subduksi Sumatera adalah 60-80 juta tahun, maka umur subduksi Jawa lebih dari 100 tahun.
Persoalannya, palung Jawa memanjang dari Banyuwangi hingga Mentawai memiliki banyak sedimen. Sifat ini akan memengaruhi gempa dan tsunami yang dihasilkan.
"Banyaknya sedimen di palung bisa menyebabkan gempa lebih lambat. Namun, dislokasinya besar dan tsunami yang dihasilkan juga besar," urai Widjo.
"Dengan magnitud yang sama, gempa di subduksi Jawa bisa menghasilkan tsunami hingga 3 kali lipatnya dibanding gempa normal," tambah Widjo yang dihubungi Kompas.com beberapa hari lalu.
Dengan kata lain, gempa akibat aktivitas subduksi Jawa berpotensi lebih membunuh. Gempa yang tak dirasakan membuat warga terlena, merasa tak mungkin ada tsunami. Ternyata, tsunami justru besar.
Gempa dengan karakteristik di atas disebut gempa lamban. Jenis gempa inilah yang mengguncang Mentawai pada tahun 2010 dan Pangandaran pada tahun 2006.
Widjo mengatakan bahwa dengan karakter Jawa yang unik, warga di selatan Jawa pun wajib mewaspadai potensi gempa dan tsunami.
Misteri
Irwan Meilano, pakar kegempaan dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan bahwa pengetahuan tentang kegempaan di selatan Jawa masih minim, jauh dibandingkan Sumatera.
Satu hal yang diketahui dengan pasti adalah bahwa subduksi di Jawa masih aktif. Aktivitas subduksi mempengaruhi sesar di daratan, seperti Lembang dan Opak.
"Kalau ada gempa di daratan, misalnya di sesar Opak di Yogyakarta tahun 2006, itu menunjukkan bahwa subduksinya pun aktif karena energinya berasal dari subduksi," ungkap Irwan.
Namun, Irwan yang ditemui dalam seminar "Mitigasi Gempa dan langkah-langkah Evakuasi di Gedung Bertingkat", Selasa (17/4/2012) di Jakarta, mengatakan, banyak hal tentang kegempaan selatan Jawa masih menjadi misteri.
Sumatera memiliki pulau-pulau di samudra. Hal itu mempermudah penelitian aktivitas tektonik, misalnya dengan observasi terumbu karang. Penelitian seperti periodisasi gempa bisa dilakukan.
"Ini yang tidak ada di Jawa. Record itu tidak tercatat dengan baik. Riset di Jawa lebih sulit karena perlu waktu lebih panjang dan pengamatan lebih detail," urai Irwan.
Saat ini, tim ilmuwan termasuk Irwan melakukan penelitian dengan pendekatan palaeoseismologi. Riset dilakukan dengan proses trenching, menganalisis lapisan tanah untuk melihat jejak adanya tsunami.
"Kita sedang kuantifikasi hazard-nya. Kita tahu yang sangat awal, belum detail. Kita akan perkirakan berapa magnitud dan rentangnya, selanjutnya akan kita jabarkan dalam peta gempa," papar Irwan.
Seismic gap di selatan Jawa?
Salah satu yang menarik dari kegempaan di subduksi Jawa, menurut Widjo, adalah sejarah terjadinya gempa yang disusul tsunami serta lokasinya.
Tahun 1994, terjadi gempa berkekuatan 7,2 skala Richter di subduksi selatan Jawa Timur yang memicu tsunami di Banyuwangi. Sebanyak 250 orang tewas akibat tsunami tersebut.
Sementara itu, tahun 2006 terjadi tsunami di Pangandaran yang dipicu gempa 6,8 skala Richter. Jumlah korban yang tewas mencapai puluhan orang. Ada yang memperkirakan gelombang tsunami mencapai 10 meter.
"Yang timur sudah, yang barat juga sudah. Bagaimana dengan bagian yang tengah? Apa yang sedang terjadi? Apakah sedang ada pengumpulan energi?" tanya Widjo.
"Ini yang sedang menjadi concern kita. Khawatirnya nanti ada gempa yang besar atau unik seperti tahun 1994 dan 2004. Gempanya tak terlalu besar, tapi tsunaminya tinggi," tambah Irwan.
Irwan mengatakan, belum ada kepastian bahwa ada wilayah seismic gap di selatan Jawa, berkisar pada letak 110 Bujur Timur, 75 km berarah ke utara dan selatan palung Jawa.
Menurut Irwan, absennya gempa besar di suatu wilayah bisa berarti dua hal. Pertama, memang memiliki aktivitas kegempaan rendah. Kedua, adalah seismic gap atau ada potensi gempa besar, tetapi belum terjadi.
"Untuk selat Sunda, kita memang sudah pastikan ada seismic gap. Di selatan Jawa, kita sudah lakukan penelitian dengan metodologi yang sama, tapi belum bisa menyimpulkan apakah ada seismic gap, walaupun kemungkinannya ada," ungkap Irwan.
Ketika masih banyak yang menjadi misteri, penelitian harus dilakukan. Namun, yang juga penting adalah kewaspadaan masyarakat.
"Dimensi manusia ini penting. Tidak harus menunggu proses penelitian dan engineering, tapi bisa berjalan secara pararel," kata Irwan.
Widjo menambahkan, edukasi kepada masyarakat di selatan Jawa dan infrastruktur seperti alat peringatan dini tsunami wajib menjadi prioritas.
WILAYAH SELATAN JAWA DIBAYANGI GEMPA BESAR & TSUNAMI, Selatan Jawa Wajib Waspadai Gempa dan Tsunami, Gempa Jawa, Tsunami di Wilayah Selatan Jawa, Gempa Bumi, Gempa Indonesia 2012
0 comments:
Post a Comment