"Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid," ujar Boediono dalam sambutannya pada pembukaan Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (27/4/2012).
Boediono memahami bawah azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salat.
"Namun demikian,apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Boediono berharap Dewan Masjid Indonesia dapat memberdayakan masjid untuk melakukan upaya edukasi kepada umat muslim.
"Melalui dakwah dalam rangka peningkatan karakter dan moral umat muslim dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat utamanya kepada generasi muda," kata Boediono.
Tidak hanya itu, penggunaan masjid tidak hanya untuk ibadah namun menjadi sarana pendidikan, baik pendidikan Tahfidzul Qur’an (hapalan Qur’an) dan Tahsinul Qur’an (memperbaiki kualitas bacaan Quran) maupun pendidikan dasar formal seperti TK, SD, dan SMP.
"Memberdayakan Masjid sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan minat, bakat, dan keterampilan generasi muda melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen dan keterampilan bagi pemuda remaja masjid," terangnya.
"Mampu mendorong Masjid dalam penciptaan kemakmuran umat muslim melalui optimalisasi zakat, infaq, shadaqah bekerjasama dengan BAZNAS serta melalui pengembangan usaha yang berbasis syariah," tambahnya.
Ketua Pemuda Dewan Masjid Protes Pidato Wapres Soal Pengeras Suara
Pidato Wakil Presiden Boediono mengenai aturan pengeras suara di masjid disebut salah tempat. Negara tidak dalam kapasitas mengurus pengeras suara masjid.
"Saya keberatan, pidato itu saya keberatan. Untuk apa? Tidak si sini dia ngomong hal itu," ujar Ketua Pemuda Dewan Masjid Indonesia, Ali Mocthar Ngabalin di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (27/4/2012).
Menurt Ngabalin, pidato aturan pengeras suara bukan zamannya lagi karena masyarakat dapat melakukannya tanpa aturan yang mengikat.
"Bukan lagi zamannya angkat masalah itu. Itu urusan tetangga dengan pengurus masjid dan bisa berkomunikasi," terangnya.
Selain itu, tidak pada tempatnya negara masuk ke wilayah agama. "Karena pemerintah tidak boleh mengurus itu," kata Ngabalin.
Ngabalin pun mengaku terkejut dengan pidato dari Biedono tersebut dan mempertanyakan pembuat naskah pidato Boediono. "Tidak tahu di mana Pak Wapres ambil sampel. Kaget saya, siapa yang masuk pikiran itu ke Pak Boediono. Ini kan orang santun," terangnya.
Aturan Kemenag Soal Pengeras Suara di Masjid
Berkaca dari apa yang disampaikan Wapres tersebut, sebenarnya aturan soal pengeras suara itu sudah sejak lama diatur Kementerian Agama (Kemenag). Seperti dikutip dari situs bimasislam.kemenag.go.id, Jumat (27/4/2012), aturan itu sudah ada 1978. Soal pengeras suara itu diatur dalam instruksi Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam.
Soal pengeras suara di masjid diatur dalam keputusan nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.
Berikut aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat
HEBOH PIDATO WAPRES BOEDIONO PADA PEMBUKAAN MUKTAMAR VI DEWAN MASJID INDONESIA, Boediono Usul Pengeras Suara Masjid Dibahas Dewan Masjid, Isi Pidato Wapres Boediono di Pembukaan Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia, Ketua Pemuda Dewan Masjid Protes Pidato Wapres Soal Pengeras Suara, Aturan BIMAS Soal Pengeras Suara di Masjid
0 comments:
Post a Comment